-----
Hari ini aku menghadiri pemutaran film "Act of Dishonour" di ITB, dimana sang sutradaranya
Nelofer Pazira juga ikut hadir.
Film ini berkisah tentang.. (ehm, biar cepat aku copas aja lah dari Kabarindo :p)
Act of Dishonour (2010) adalah film terbaru karya sutradara Nelofer Pazira. Film ini berkisah
tentang Mena, seorang gadis cantik yang hidup di sebuah desa terpencil Afghanistan Utara. Di desa itu hidup pula tunangannya Rahmat. Penduduk desa mereka yang memegang teguh adat istiadat setempat didatangi serombongan kru film dari Kanada.
Momen ini mengawali persinggungan Mena dan penduduk desanya dengan dunia luar. Perjumpaan ini membawa pula ketegangan dan sekaligus pembelajaran bagi kedua belah pihak, dan dalam arti luas bagi dua budaya: Timur dan Barat.
Hmm.. masih kurang ah penjelasannya. Aku tambahin ni:
Mena adalah gadis 15 tahun yang akan menikah. Dia udah punya baju pengantin, tapi belum punya burqa untuk malam pertama (kalau orang Barat malam pertama pakai lingerie, kalau orang Afghanistan malah pake burqa, yang menutup SELURUH TUBUH termasuk wajah). Dia lalu bertemu kru film, yang mengiming-imingi burqa asalkan dia mau main film.
Mena yang polos pun bersedia main, padahal menurut adat, seorang perempuan, apalagi yang belum menikah, tidak boleh keluar rumah. Kelakuannya itu diketahui oleh keluarganya dan orang-orang.
Sang ayah mendapat tekanan sosial untuk membunuh anaknya karena telah mempermalukan dan menjatuhkan harga diri keluarga. Pembunuhan itu hampir ia lakukan saat Mena tidur, namun (mungkin) karena sayang, tidak jadi ia lakukan. TAPI, diam-diam ia membelikan peluru untuk Rahmat, tunangan Mena, agar nanti membunuh Mena dengan cepat dan tanpa rasa sakit.
Hingga akhirnya, di Hari-H, Rahmat menjemput Mena (yang cantik dengan gaun pengantinnya), melakukan perjalanan jauh berjalan kaki, dan di tengah gurun mereka berhenti. Rahmat mengarahkan senapannya ke arah Mena.
Mena pasrah.
Ia menangis.
Siap menjemput ajal.
(PERINGATAN: SPOILER!)
Rahmat (sambil mata berkaca-kaca karena sedih, berat hati, dan patah hati) menembak.
Membuang pelurunya, dan
meninggalkan Mena dalam keadaan hidup.
Terdampar in the middle of nowhere..
THE END
Konon, fim ini terinspirasi dari kisah nyata loh. Jadi, pernah ada seorang istri yang diajak main film. Saat itu suaminya di Pakistan. Begitu suaminya pulang ke Afghanistan, ia mendengar orang-orang membicarakannya istrinya yang keluar rumah tanpa sepengetahuannya. Dan istrinya itu lalu dibunuh!
Hmm..
Banyak yang ingin aku tulis sebagai tanggapan dalam film yang mengangkat nilai-nilai perdamaian, hak asasi, dan toleransi ini. Tapi yang mau aku highlight simpel aja..
Sang sutradara, Nelofer Pazira, membuat film ini tidak untuk menghasilkan uang dan tidak mencari popularitas.
Ia ingin duduk, berkumpul, berdialog, dan berdiskusi dengan penonton.
Ia ingin memotret fenomena, menunjukkan realitas pada orang-orang, dan membantu mencari solusi serta jalan keluar untuk kehidupan yang lebih baik.
Kasarnya, mencari cara agar budaya seperti itu bisa diubah.
Kalaupun tidak bisa diubah, setidaknya orang-orang (termasuk sang penganut budaya) aware akan plus minus budaya seperti itu (IMHO).
Hmm.. jadi inget produser 89 Project.
Mungkin visi dia juga mirip-mirip seperti itu kali ya.. (memotret fenomena dan membangun awareness)
Kalau aku sih,
pengen seperti Nelofer karena..
jalan-jalan ke luar negeri untuk memutarkan filmnya!
Aku juga ingin seperti itu, ya Allah..
Amiiiiiiinnn...!!
salah satu budaya bodoh yg dianut oleh orang afghanistan,makanya aq paling ga suka dgn yg namanya syariat islam.karna emang akan seperti ini jadinya ntar.
BalasHapus:)
BalasHapusMenurut kita itu memang budaya bodoh (meskipun sebenarnya kita ga boleh nge-judge).
Tapi itu bukan syariat Islam, Kob.
Setahu aku Islam ga pernah tuh, memerintahkan anak perempuan diperlakukan seperti itu.
Sutradaranya bilang, karena perang, tingkat pendidikan di Afghanistan sangat rendah.
Masih banyak yang buta huruf.
Bahkan ilmu agama (termasuk syariat Islam) pun mereka belum paham seluruhnya.
Begitu, Yakob..
Thanks 4 the comment :)