Sabtu, 31 Juli 2010

Buku-buku yang Dibaca Di Bulan Juli


1. Reporter and The City- Noni Wibisono
2. Man Jadda Wajada: The Art of Excellent Life- Akbar Zainuddin
3. Putri Aradia - Primadona Angela
4. Sarjana Kebut Skripsi - Hendy Lukman
5. Enchanted, Inc. - Shanna Swendson
6. Cinta: Sebuah Rumah Untuk Hatimu- Ollie
7. Don't Sweat Guide For Graduates - Tim Editor Don't Sweat Press
8. Kerjaku, Ibadahku- Elie Mulyadi

Label 'buku' di blog ini semakin 'menggelembung' saja. Membuat label-label lain jadi kontras. Itu artinya, udah banyak banget postingan berlabel buku di sini. Sepertinya aku perlu bikin blog baru neh. Hehe..

Masalahnya, udah banyak banget 'wadah' tulisanku. Takutnya jadi terbengkalai. Tapi sebenarnya aku lumayan antusias dengan ide bikin blog baru tentang buku.
Yah, meskipun sepertinya nanti bakal diisi dengan teknik quick update. Hehe..

Anyway,
aku seneng buku-buku yang aku baca bulan ini bagus-bagus.
Lucu, inspiratif, manis, dan romantis (yuwk).
Oh ya satu lagi: magis. Maklum, ada yang temanya sihir-sihiran sih :D

Sebagai penutup, aku tampilkan nih, salah satu mantra inspiratif dari Putri Aradia.

Ever mind The Rule of Three,
Three times what thou givest returns to thee
this lesson well, thou must earn.
Thou only gets what thou dost earn.

Senin, 26 Juli 2010

Hanung Bramantyo's Great!

Siapakah pekerja film ternama yang bisa memberikan materi pengajaran dengan sangat baik? Menurut aku jawabannya adalah
(1) Mathias Muchus,
(2) Hanung Bramantyo.

Ya, setelah beberapa waktu lalu aku terpukau dengan materi akting dari Mathias Muchus, maka hari Sabtu (24/7) lalu aku terkesima *lebay* dengan cara Hanung Bramantyo mentransfer ilmu.

Mas Muchus pandai menyampaikan materi mungkin karena dia juga seorang dosen ya. Sementara Mas Hanung, pasti karena dalam pekerjaannya ia terbiasa melakukan komunikasi instruksional *haha, sok-sok pake bahasa Fikom gini*.

Di acara LA Lights Indie Movie itu, mas Hanung menyampaikan materi directing, khususnya bagaimana membuat film adaptasi. Sebagai sutradara beberapa film adaptasi dari novel (Jomblo, Ayat-ayat Cinta, dan Perempuan Berkalung Sorban), mas Hanung sangat paham bagaimana seharusnya film adaptasi dibuat.

Ia menyampaikannya dengan bahasa sederhana, menarik, dan mudah dimengerti. Ia juga lumayan lucu dan menghibur.

Tapi yang paling aku suka dari semuanya adalah ketika ia berkolaborasi dengan Mas Aria Agni, sinematografer, untuk melakukan simulasi syuting. Waw! Aku sekarang jadi tahu bagaimana cara Mas Hanung menyutradarai :-)

Pertama-tama, Mas Hanung meminta dua orang peserta, satu cowok dan satu cewek, untuk naik ke atas panggung. Keduanya diminta duduk di sofa pembicara.
Mas Hanung lalu menunjukkan cara menyiapkan set. Meja dibersihkan, dikasih majalah. Segala barang ga penting yang tampak di layar, disingkirkan.
Di monitor, tampak bahwa warna sofa mirip dengan cardigan cewek yang berwarna hitam. Karena kurang bagus di layar, maka sang cewek diminta membuka cardigannya, sehingga warna bajunya yang oranye membuat gambar jadi lebih cerah.

Mas Hanung juga memberi kesempatan beberapa orang peserta lain untuk membuat cerita bagi dua pemain ini. Sekalian mengajari pitching, sepertinya.
Ada empat orang yang maju bergantian ke atas panggung dan mempresentasikan ide ceritanya. Ide cerita yang keempatlah yang diterima: tentang seorang cowok yang akan mengaku pada sang pacar bahwa ia sebenarnya penyuka sesama jenis. Iew! Hehe..

Selama simulasi, semua peserta memperhatikan bagaimana Mas Hanung men-direct. Ia memberi instruksi kepada pemain cewek untuk tidak memegang tangan si cowok terlalu cepat atau terburu-buru (hehe), menyuruh pemain ketiga untuk masuk frame (MC acara yang jadi pembantu :D), dan meng-cut begitu dialog sang cowok terasa kepanjangan.

Simulasi itu jadi lucu, bukan hanya karena cara Mas Hanung men-direct, tapi juga karena adanya MC narsis yang pengen ikutan main meski jadi pembantu, dan diakhiri dengan dialog si tokoh cowok yang mengaku bahwa ia sebenarnya menyukai Bram.. yang surpraisingly, adalah si pembantu itu.

Hwkwkwk…

Pokoknya Mas Hanung T.O.P B.G.T! :D



Gambar diambil dari kapanlagi.com

Jumat, 23 Juli 2010

Masa Kecil Sangat Bahagia

Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada hari ini, aku mau bernostalgia ah, mengenang masa anak-anak.

Kalau orang banyak yang bilang, masa SMA adalah masa paling bahagia, maka bagiku masa paling bahagia dalam hidup ini adalah masa anak-anak. Puas banget aku menghabiskan masa anak-anak. Kerjanya maiiiiinn mulu! Mainnya bahkan bisa sampe jam 11 malem! Haha.. kecil-kecil udah biasa main malem. Hihi.. Apalagi udah umur segini. Ups..

Sebagian besar masa kecilku aku habiskan di kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Dulu, bisa dibilang aku adalah anak pantai. Maklum, jarak dari rumah ke bibir pantai hanya satu menit berjalan kaki. Jadi, hampir setiap hari aku ke pantai.

Di pantai, biasanya aku berenang, main pasir, ngumpulin kerang, ngeliatin nelayan ramai-ramai narik jala, sampai loncat-loncat di perahu nelayan yang lagi nganggur (kalau ketahuan yang punya pasti dimarahin :p). Dengan aktivitas harian seperti itu, ga heran kalau kulit dan rambutku terbakar matahari.

Aku juga suka main sepakbola. Jadi satu-satunya cewek di situ. Tapi aku benar-benar ga guna banget. Jarang dikasih bola. Paling lucu sih, pas aku disuruh jadi kiper. Pemain belakangnya itu sangat amat jago sekali, sampai-sampai ga pernah sekalipun tuh bola ngedeketin gawang! Kayaknya kalau aku tiduran di depan gawang juga tetep aja pemain lawan ga mungkin bikin gol. Haha.

Selain ke pantai dan main bola, aku dan teman-teman paling suka manjat pohon jambu monyet alias JAMBU METE!

Beuh.. Kalau lagi berbuah tuh.. hmm.. makan yang mentah bisa bikin kita sakit tenggorokan dan batuk-batuk saking sepetnya. Tapi kalau udah matang dan ranum.. Slurp.. manis, lembut, seger, kandungan airnya tinggi kayak melon, sampai netes-netes makannya. Biji metenya juga bisa langsung digoreng. Rasanya beda loh, sama yang biasa dijual dalam kemasan. Mungkin karena ga pake bumbu macam-macam kali ya..


Sampe sekarang, sejak aku meninggalkan Aceh, belum pernah aku melihat pohon jambu mete, apalagi makan buahnya. Tapi kalaupun aku ke sana lagi, udah ga bisa juga. Coz pohonnya udah ditebang. Huhu.. T_T





Dipikir-pikir, beberapa permainanku jaman dulu suka ga penting. Ini diantaranya:
1. Nongkrong di pinggir jalan dan nyatet nomor kendaraan yang lewat. Eh, ini mah bukan permainan ya? Tapi itu benar-benar tidak penting. Ngapain coba?

2. Ngelemparin satu pak kartu bergambar ke udara, lalu berlomba-lomba mengumpulkannya sama teman-teman, trus digabung jadi satu. Lalu? Ya dilempar lagi ke udara, dikumpulin, digabungin, dilempar lagi, dikumpulin, dan seterusnya. Cape deh.. >.< Biasanya permainan ini nih yang dilakukan malam-malam sampe jam 10 lewat.

3. Ngelempar bola tenis ke genteng garasi yang bergelombang dan begitu bola bergerak turun, aku dan teman-teman berlomba-lomba nangkep duluan. Begitu berhasil ditangkap, dilempar lagi, tangkap, lempar lagi, tangkap lagi, begitu seterusnya sampe… bolanya NYANGKUT. Entah itu karena terhalang daun pisang, kerikil (iya, ada kerikil di atas genteng, kami juga yang ngelempar :p), atau tiba-tiba tuh bola menempelkan diri ke genteng, menolak untuk turun dan dipermainkan. Kalau udah gitu –nah, ini agak penting- kita mencari akal gimana caranya tuh bola bisa turun. Belajar problem solving tuh! Hihi..

Permainan lain yang sedikit berguna karena bisa sekalian olahraga adalah main kasti dan pecah piring. Kasti.. tahu lah ya gimana. Pecah piring.. aku ga tahu istilah lainnya apa. Yang pasti kita berusaha menumpuk kepingan-kepingan keramik, sambil berusaha berkelit agar tidak terkena bola yang dilempar tim lawan. Kalau kena bola, kita out.
Doh, jadi pengen main ini lagi..

Aku masih berada di Aceh ketika perang melawan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dimulai. Saat itu, diberlakukan jam malam. Jadi, masyarakat diminta untuk tidak keluar rumah lewat jam tujuh malam. Itu bikin jalanan sangat sepi, sehingga aku dan teman-teman bisa main pecah piring di tengah jalan! Hohoho..

Paling, kalau dari kejauhan terdengar bunyi rentetan tembakan (iya, serius. Tembakan), kita semua pada bubar, masuk rumah masing-masing, mengunci pintu, memadamkan lampu, dan mendengarkan suara tembakan bersahut-sahutan dengan ketakutan, berdoa agar jangan sampe lokasi perang berpindah ke depan rumah.

Karena keadaan yang semakin tidak aman itulah, akhirnya keluargaku pindah ke Batam. Meninggalkan kesan yang amat dalam tentang masa kecilku yang tak kan terlupakan.

Semoga negara Indonesia selalu aman dan segera makmur sejahtera, sehingga anak-anak Indonesia puas bermain dan bahagia. Amin!

Kalau kamu, bagaimana masa kecilmu?


*Sebenernya masih banyak cerita lain. Tapi ntar kepanjangan. Hehe
*Gambar diambil dari blognya Maruti Borker (di postingan dimana dia menceritakan masa kecilnya! Kebetulan sekali!)

Sabtu, 17 Juli 2010

Sedang Labil

Cerita Satu
Seorang teman lama menyapaku di chat facebook.
Dia : Sekarang lagi sibuk apa, Sin?
Aku : Nulis
Dia : Nulis apa? Nulis tegak bersambung? Haha..
Aku : Why are you so curious? Ga penting. Ga perlu tahu.
Dia : Hahaha.. wah, marah dia..
Aku: Ga marah. I just think that it’s not necessary to tell you
Dia lalu tertawa maklum dan setuju bahwa aku punya hak untuk memberitahunya atau tidak.

Cerita Dua
Seorang teman baikku mengirim sms manis berisi tiga kata: “Sinta, pa kabar”
Dan aku menjawabnya dengan kalimat yang intinya: kalau ga ada info atau urusan penting dia ga usah menghubungi aku (!)

Oh Tuhan, mengapa aku begitu jahat?

Akhir-akhir ini aku merasakan hal-hal yang aneh. Sering merasa tertekan, lebih mudah emosi, lebih sering badmood. Aneh. Benar-benar aneh.

Selama ini aku merasa bahwa aku adalah orang Phlegmatis yang santai, sabar, go with the flow, dan damai.

Tapi beberapa hari yang lalu, aku merasa emosiku memuncak. Hal yang sangat jarang terjadi dalam hidupku. Aku tidak mengerti alasannya.
Kalaupun ada alasannya, aku adalah tipe orang yang tidak pernah membiarkan hal-hal eksternal mempengaruhi emosiku. Aku tidak akan membiarkan orang lain atau situasi membuatku kesal atau marah.

Tapi pada hari itu, lain. Aku sungguh-sungguh emosi.

Mungkin, rasanya seperti istilah “darah mendidih hingga ke ubun-ubun”. Dan rasanya sungguh tidak enak. Aku frustasi. Heran dengan suhu ekstrim dalam hatiku. Pusing dengan tekanan dalam kepalaku.

Lalu aku ingat, pernah ada yang bilang, ketika kita marah sebaiknya wudhu, karena air memadamkan api.

Aku pun wudhu dan salat. Setelah berpikir agak jernih, aku mulai mengetahui akar permasalahannya.

Aku juga menyadari bahwa saat itu Allah sedang memberi ujian padaku tentang arti kesabaran, pengendalian diri, penguasaan emosi, keikhlasan, dan pemberian maaf.
Sungguh, itu adalah ‘ujian praktek’ yang mendadak dan tidak mudah.
Tapi aku harap Allah mengampuniku. Amin.

Setelah salat, emosiku pun menurun. Dari yang tadinya bersuhu 110 derajat, berkurang jadi 20 derajat saja (apa seh, kayak ada alat pengukur suhu hati aja.. hehe).

Sekarang aku sedang ingin sendiri.
Berharap komunikasi dengan teman-temanku berkurang.
Bukan apa-apa, aku hanya takut ‘menyemprot’ teman-temanku yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa itu.
Aku takut menyakiti mereka.

Aku menyesal dengan apa yang kukatakan pada dua orang temanku itu, dan aku tidak ingin mengulanginya ke teman-teman yang lain.

Jika aku belum ingin bertemu,
jika aku sedang irit bicara,
mohon dimaklumi ya..

Aku harus mengurus hatiku dulu...

"Kita ga usah ketemu dulu ya? Aku butuh waktu.."
"Kamu ga salah, Sid. Akunya aja yang terlalu berperasaan.."
(Delia, dalam film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta)


“Banyak orang yang mengaku baik, berlaku kasar kepada mereka yang seharusnya disayangi”
(Mario Teguh)


Sumber gambar dari http://anime2.kokidokom.net

Senin, 12 Juli 2010

What's on your mind?

Status satu.
Annoyed. Insecure. Bad mood.
Status dua.
Even the best relationship can be complicated.
Status tiga.
Salah satu hal yang menyakitkan hati adalah ketika orang yang menjadi tempat kita curhat saat ada masalah, justru menjadi sumber masalah.
Status empat.
Itulah mengapa aku sempat ragu mengatakannya.
Satu, karena aku akan terlihat egois dan tidak peduli
Dua, karena mungkin itu akan menyakitimu.
Tapi sebenarnya semuanya itu tak lebih dari mekanis me pertahanan diri.
Prosedur pengamanan hati.
Status lima
Maafkan aku...

Selasa, 06 Juli 2010

Terimakasih, Sahabat.. :-)

Hari ini aku memenuhi permintaan seorang sahabat untuk ketemuan. Sebenarnya, aku adalah tipikal orang yang kurang suka berkumpul untuk ngobrol ngalor ngidul ga jelas. Tapi para sahabatku mendapatkan pengecualian.
Kalau di acara lain aku selalu bertanya, “Acaranya ngapain aja?” atau “Nanti aku ngapain di sana?” atau “Kenapa aku mesti dateng?” dst. Tapi kalau sahabatku yang ngajak, meski hanya untuk ngobrol, pasti aku iya kan (kalau ga ada janji/ acara lain). Kenapa? Karena aku tahu rasanya ingin ditemani dan didengarkan.

Aku teringat, beberapa tahun yang lalu, aku pernah merasakan begitu kesepian. Tidak ada teman yang bisa diajak bicara apalagi bermain. Bukan, bukan karena aku ga punya. Tapi saat itu teman-teman (baca: sahabat-sahabat)ku sedang jauh (secara fisik).

Kecuali satu orang.

Awalnya aku senang karena aku tahu ada seorang sahabat yang (seharusnya) bisa aku temui. Tapi ternyata itu harapan semu. Ketika aku bilang ingin bertemu dengannya, ia tidak bisa. Entah apa alasannya, aku pun lupa.

Penolakan pertama adalah wajar. Mungkin saat itu ia memang sedang sibuk. Di lain waktu, aku mengajaknya ia ketemuan lagi. Dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali. Ia tidak bisa ditemui. Dan alasan apapun menjadi tidak wajar lagi bagiku. Ia mengabaikan aku.

Aku tidak menganggapnya sahabat lagi sejak itu. Bagiku, kini ia hanya teman biasa (meski aku ingin sekali menyebutnya hanya seorang kenalan)
Apakah aku jahat? Tak apa jika orang menganggapku begitu.

Mungkin, faktor situasi juga berpengaruh pada keputusanku waktu itu. Aku kesepian. Stres. Butuh teman. Ingin ngobrol. Salahkah aku jika aku me’nuntut’ sahabatku?

Menurutku, seorang sahabat harus selalu ada saat aku butuh. Meskipun tentu saja, aku punya toleransi yang besar jika sahabatku tidak bisa selalu ada. Tapi saat itu aku sedang amat sangat membutuhkannya. Dan ia menolak bertemu denganku.. lima kali?!

Mungkin di antara kalian ada yang berpikir, “Mungkin kamu ada salah apa gitu, ke dia, sampe ga mau ketemu gitu?”

Entahlah. Aku tidak merasa pernah menyakiti hatinya. Tidak ada apa-apa. Mungkin ia memang sibuk. Atau berpendapat, pertemuan itu tidak perlu (seperti prinsipku jika ada acara kumpul-kumpul).

Sudahlah. Tentangnya, mari kita tutup buku. Aku masih punya banyak sahabat yang lain.

Aku tahu, aku pun bukan sahabat yang sempurna.
Aku sering cuek. Aku tidak menjenguk sahabatku ketika sakit. Aku tidak memberi kado ketika sahabatku ultah, padahal ia memberi kado ultah padaku. Aku kadang-kadang ‘bocor’ (tapi ini hanya terjadi jika sahabatku ‘lupa’ bilang “jangan bilang-bilang siapa-siapa ya..” :p). Aku pernah miskomunikasi dan marahan. Aku pernah kesal dan membuat sahabatku kesal. Aku suka merepotkan. Aku jarang mentraktir. Aku tak selalu ada..

Tapi sungguh, aku sayang sahabat-sahabatku. Terkadang aku bingung, karena tidak mampu menunjukkan dan memberikan bukti kalau aku sayang mereka.

Aku berusaha.
Aku berusaha ada jika sahabatku butuh teman bicara.
Aku berusaha mendukung sahabat-sahabatku dengan menghadiri sidang kompre/skripsinya.
Aku berusaha membalas sms atau mengangkat telepon jika sahabatku menghubungi.
Aku berusaha membuat kado sendiri, karena sering tidak punya uang untuk membeli kado saat sahabatku ultah.
Aku berusaha membantu jika sahabatku meminta tolong.

Memang, tidak banyak yang bisa aku lakukan.
Tapi aku ingin kalian tahu, para sahabatku, bahwa aku sayang kalian.
Sayaaaang sekali
:-)

Terimakasih telah bersedia menjadi sahabatku.
Terimakasih telah mendengarkan ceritaku.
Terimakasih karena mengizinkanku menginap.
Terimakasih atas masukan, nasehat, dan teguran kalian.
Terimakasih atas kado, pesta, makan-makan, dan jalan-jalan bersama kalian.
Terimakasih untuk segalanya..

Doaku selalu menyertai kalian..
Luv u always. :-*