Selasa, 06 Juli 2010

Terimakasih, Sahabat.. :-)

Hari ini aku memenuhi permintaan seorang sahabat untuk ketemuan. Sebenarnya, aku adalah tipikal orang yang kurang suka berkumpul untuk ngobrol ngalor ngidul ga jelas. Tapi para sahabatku mendapatkan pengecualian.
Kalau di acara lain aku selalu bertanya, “Acaranya ngapain aja?” atau “Nanti aku ngapain di sana?” atau “Kenapa aku mesti dateng?” dst. Tapi kalau sahabatku yang ngajak, meski hanya untuk ngobrol, pasti aku iya kan (kalau ga ada janji/ acara lain). Kenapa? Karena aku tahu rasanya ingin ditemani dan didengarkan.

Aku teringat, beberapa tahun yang lalu, aku pernah merasakan begitu kesepian. Tidak ada teman yang bisa diajak bicara apalagi bermain. Bukan, bukan karena aku ga punya. Tapi saat itu teman-teman (baca: sahabat-sahabat)ku sedang jauh (secara fisik).

Kecuali satu orang.

Awalnya aku senang karena aku tahu ada seorang sahabat yang (seharusnya) bisa aku temui. Tapi ternyata itu harapan semu. Ketika aku bilang ingin bertemu dengannya, ia tidak bisa. Entah apa alasannya, aku pun lupa.

Penolakan pertama adalah wajar. Mungkin saat itu ia memang sedang sibuk. Di lain waktu, aku mengajaknya ia ketemuan lagi. Dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali. Ia tidak bisa ditemui. Dan alasan apapun menjadi tidak wajar lagi bagiku. Ia mengabaikan aku.

Aku tidak menganggapnya sahabat lagi sejak itu. Bagiku, kini ia hanya teman biasa (meski aku ingin sekali menyebutnya hanya seorang kenalan)
Apakah aku jahat? Tak apa jika orang menganggapku begitu.

Mungkin, faktor situasi juga berpengaruh pada keputusanku waktu itu. Aku kesepian. Stres. Butuh teman. Ingin ngobrol. Salahkah aku jika aku me’nuntut’ sahabatku?

Menurutku, seorang sahabat harus selalu ada saat aku butuh. Meskipun tentu saja, aku punya toleransi yang besar jika sahabatku tidak bisa selalu ada. Tapi saat itu aku sedang amat sangat membutuhkannya. Dan ia menolak bertemu denganku.. lima kali?!

Mungkin di antara kalian ada yang berpikir, “Mungkin kamu ada salah apa gitu, ke dia, sampe ga mau ketemu gitu?”

Entahlah. Aku tidak merasa pernah menyakiti hatinya. Tidak ada apa-apa. Mungkin ia memang sibuk. Atau berpendapat, pertemuan itu tidak perlu (seperti prinsipku jika ada acara kumpul-kumpul).

Sudahlah. Tentangnya, mari kita tutup buku. Aku masih punya banyak sahabat yang lain.

Aku tahu, aku pun bukan sahabat yang sempurna.
Aku sering cuek. Aku tidak menjenguk sahabatku ketika sakit. Aku tidak memberi kado ketika sahabatku ultah, padahal ia memberi kado ultah padaku. Aku kadang-kadang ‘bocor’ (tapi ini hanya terjadi jika sahabatku ‘lupa’ bilang “jangan bilang-bilang siapa-siapa ya..” :p). Aku pernah miskomunikasi dan marahan. Aku pernah kesal dan membuat sahabatku kesal. Aku suka merepotkan. Aku jarang mentraktir. Aku tak selalu ada..

Tapi sungguh, aku sayang sahabat-sahabatku. Terkadang aku bingung, karena tidak mampu menunjukkan dan memberikan bukti kalau aku sayang mereka.

Aku berusaha.
Aku berusaha ada jika sahabatku butuh teman bicara.
Aku berusaha mendukung sahabat-sahabatku dengan menghadiri sidang kompre/skripsinya.
Aku berusaha membalas sms atau mengangkat telepon jika sahabatku menghubungi.
Aku berusaha membuat kado sendiri, karena sering tidak punya uang untuk membeli kado saat sahabatku ultah.
Aku berusaha membantu jika sahabatku meminta tolong.

Memang, tidak banyak yang bisa aku lakukan.
Tapi aku ingin kalian tahu, para sahabatku, bahwa aku sayang kalian.
Sayaaaang sekali
:-)

Terimakasih telah bersedia menjadi sahabatku.
Terimakasih telah mendengarkan ceritaku.
Terimakasih karena mengizinkanku menginap.
Terimakasih atas masukan, nasehat, dan teguran kalian.
Terimakasih atas kado, pesta, makan-makan, dan jalan-jalan bersama kalian.
Terimakasih untuk segalanya..

Doaku selalu menyertai kalian..
Luv u always. :-*

1 komentar:

  1. Fuh. Menurutku, sahabat itu adalah orang yang mau menerima kita apa adanya. Yang mau mengerti kita apapun yang kita lakukan dan bagaiman asituasi kita. Tidak perlu adanya kuantitas pertemuan untuk mendefinisikan seorang sahabat. Tapi, definisikan mereka dengan bagaimana mereka menganggap kamu berarti. Itu sih menurutku.

    BalasHapus