Aku baru saja menghapus sebuah postinganku di blog, karena ada orang yang keberatan dengan apa yang aku tulis. Yah, reaksiku tidak terlalu bagus, memang. Seharusnya aku bertindak lebih bijak, dengan menjawab komentarnya sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang telah aku tulis. Toh, setiap aku mempublikasikan tulisan, aku selalu bertanya: apakah tulisan ini layak muat? Apakah menarik dan bermanfaat? Apakah akan menyinggung seseorang? Apakah aku menjelek-jelekkan seseorang? Ada standar dalam setiap tulisanku.
Meski begitu, ternyata kritik dan kontroversi kadang tak terhindarkan. Dan jujur saja, aku merasa belum siap menghadapinya. Jangan heran kalau kalian melihatku menulis tapi tidak dipublish, atau dipublish lalu dihapus lagi beberapa saat setelahnya, atau yang paling sering, saat mendapat komentar negatif.
Aku tidak terlalu baik dalam menerima kritik. Ya, aku mengakui kekuranganku yang satu itu. Tapi menurutku itu wajar. Bukankah manusia pada dasarnya menyukai pujian dan kurang menyukai kritik? Hingga majalah-majalah memuat artikel tentang Bagaimana Menyampaikan Kritik Secara Baik atau Bagaimana Menyikapi Kritikan.
Sayangnya, sebagai orang yang bercita-cita menulis buku, kesulitan menghadapi kritik adalah sesuatu yang fatal (menurutku). Kenapa? Karena aku pernah mendengar bahwa sebuah karya, entah itu buku, novel, cerpen, bahkan film, setelah dipublikasikan berarti telah menjadi milik orang banyak. Bukan lagi milik penciptanya. Semua orang bebas berkomentar. Yang bagus dan yang jelek. Yang memuji dan yang mengkritik. Yang menyimpannya dengan rapi dan yang membakar dengan penuh emosi *lebay*. Sang pencipta ‘tidak punya hak’ lagi.
Di sisi lain, aku berterimakasih pada para pembaca, termasuk yang memberiku kritik. Setidaknya, aku mendapat feedback. Semoga saja setelah dipublish-dikritik-dihapus itu, aku akan menulis lebih cermat, lebih hati-hati, dan lebih berkualitas.
Untunglah aku menulis di blog atau note yang bisa di-edit dan dihapus kapan saja. Jadi untuk saat ini, kalau aku belum menulis buku beneran, harap maklum. Biarkanlah aku berproses. Semoga nanti, setelah mentalku lebih siap menerima kritik, siap dicaci maki, dan siap jadi kontroversi *ngayal*, aku akan berkarya lebih nyata.
Saat ini biarkanlah dulu.
Mungkin aku memang belum siap…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar