Suatu hari, seorang sahabat menghubungiku. Ia bilang, ada lowongan sebagai pengajar bimbel. Aku memang pernah bilang padanya kalau aku sedang ingin menjadi pengajar. Jadi, aku dengan penuh semangat menghubungi nomor kontak yang ia berikan. Oleh si CP, aku diminta datang langsung ke lokasi bimbel, di daerah Suci.
Aku datang ke sana dengan membawa surat lamaran. Ternyata tempatnya kecil, hanya sebuah rumah, dengan beberapa kursi di teras yang disetting sedemikian rupa hingga seperti kelas mini, dengan whiteboard kecil di salah satu dinding.
Saat aku datang, seorang wanita yang disana (kita sebut saja si Mbak) menerima berkas lamaranku, dan mempersilahkanku duduk di teras itu. Ia lalu memberikan soal Bahasa Inggris SMP untuk aku kerjakan. Aku pikir, mungkin itu bentuk tes nya. Aku pun mengerjakannya. Sementara aku mengerjakan, si Mbak nya mengobrol dengan orang lain di dalam, yang tampak seperti wawancara kerja. Soalnya tanya jawab gitu *sotoy*
Begitu aku selesai, ternyata ada pengajar yang membahas kunci jawaban setiap soal. Hmm.. oke. Setelah semua soal selesai dibahas, kami (aku dan 3 peserta lain) boleh pulang.
Si Mbak berpesan, kalau diklat ini diadakan setiap hari, senin-sabtu. Jadi kami besoknya harus datang lagi. Diklat akan diadakan selama 2 minggu. Setelah itu, kami bisa datang ke bimbel pusat di daerah Elang, untuk tanda tangan kontrak. Bimbel di Suci itu memang hanya cabang.
Haaaahh..? Hei, aku bahkan belum wawancara!
Aku sempat bertanya, “Kalau udah selesai diklat, kita PASTI langsung tanda tangan kontrak?”
“Ya,” jawab si Mbak.
Hmm.. mencurigakan. Itu terlalu mudah.
Singkat cerita, aku ikut diklat 3x. Pertemuan pertama pesertanya aku dan 3 orang lain. Pertemuan kedua, dengan 1 orang yang berbeda dengan yang 3 terdahulu. Pertemuan ketiga, aku sendiri. Dan .. aku langsung dapat surat tugas! Surat untuk mengajar bahasa Inggris dan Mafiki untuk kelas 2 SMA. Oke..
Tapi di saat yang bersamaan, si Mbak juga ngasih dua lembar leaflet yang isinya sama, tentang biaya yang harus dibayar untuk mengikuti diklat! Jreng jreng.
Bukan, bukan diklat yang sedang aku jalani ini, katanya. Diklatnya lain lagi. Tujuan diklat-berbayar itu adalah untuk mengurangi komplain orang tua murid karena pengajarnya tidak menguasai materi atau cara mengajarnya kurang efektif.
Saat itu, aku hanya mengiyakan.
Tapi begitu pulang, aku berpikir. Kenapa aku harus bayar? Diklat adalah suatu bentuk pengembangan SDM, yang seharusnya termasuk dalam biaya operasional suatu perusahaan.
Ditambah lagi, disitu tercantum biaya diklat selama 3 bulan untuk pengajar SMA adalah 250 ribu/bulan. Aku menghitung-hitung. Satu kali pertemuan aku akan dibayar 25 ribu, dikali 8x pertemuan sebulan. Jadi akhir bulan aku akan mendapatkan 200ribu. Weiks! Ga balik modal neh! Memang sih, itu untuk 1 orang murid. Kalau 2 orang, berarti total 400ribu.
Hoho.. ngajar 2 anak SMA, 1 Bahasa Inggris, 1 MaFiKi, total 16x pertemuan, cuma dapet 150 ribu (uang honor dikurangi uang diklat)? Belum dikurangi ongkos transport (yang pastinya aku yang nanggung).
MALESGILA DOTCOM!
Sebenernya sih, konsep diklat seperti itu sah-sah aja. Seperti PGTK, kita harus membayar untuk dididik, untuk kemudian disalurkan. Tapi kalau memang begitu, seharusnya sejak awal diberitahu. Lah ini, setelah udah di tengah jalan baru narikin duit. Maksudnya apa, coba?
Oya, si Mbak juga bilang, kalau aku bisa mengajak 2 orang untuk melamar jadi pengajar, aku dapat diskon pembayaran diklat. Lohhh? Kok harus nyari orang? Udah kayak MLM aja deh..
Satu hari sebelum aku mendatangi murid pertamaku, aku menyatakan pengunduran diri. Sempat di bujuk sih, sama Mbaknya. Katanya, gapapa, kalau aku ga ikut diklat, nanti aja kalau udah murid udah banyak, kalau udah ada pemasukan.. yang penting aku ngajar aja dulu..
Huh..
Tetap saja.
Membayangkan harus membayar sesuatu yang seharusnya gratis karena itu hak ku (pelatihan dari perusahaan), membuat aku ga rela.
Sedikitpun ga rela.
Aku keukeuh batal jadi pengajar.
Ya sudah, akhirnya si Mbak pun memaklumi.
Pulang dari sana, hatiku hujan *yuuuuwwwk*
Pertama, karena aku sempat berharap banyak disini.
Kedua, karena sebenernya si Mbak itu baik *loh?*
Maksudnya, aku sih tidak merasa ditipu atau apa.. si Mbak itu ramah, good listener, and easy going *naooon deui..? :p*
tapi memang konsep rekrutmen itu yang tidak bisa aku terima. Huhu..
Tapi ya sudah..
Toh sekarang Allah sudah menggantinya dengan sesuatu yang jaaauuuhhh.. jauh lebih baik!
:-)
wow.. baru tau model recruitment kayak gitu..
BalasHapusmudah2an lain kali dapat tawaran yang lebih baik.
enakan ngajar anak sd daripada smu hihi..
nice blog...
BalasHapuswaduh, mau kerja biar dapet duit, ini malah musti keluar duit ya.....
BalasHapuswow... untung aku ngga pernah dapet yang jaya gitu,, dan yang paling pentingm bayarannya ngga semurah itu.. aku pernah kok ngajar anak SMP Mafiki dapetnya 50 per pertemuan,
BalasHapusdan baru2 ini aku juga tahu bahwa pendapatan bimbel itu 50% dari yang dibayar orang tua murid. Misalnya ortu bayar 500, pengajar cuma dapet 250 dan bimbel dapet 250 juga, apa ngga enak tuh,, rugi di bandar lah.. hahaha
eniwei, selamat berhari senin ya..