Minggu, 26 April 2015

#BeraniLebih Tegar Menghadapi Kegagalan

Jatinangor, Januari 2010.

Aku berdiri di depan ruang sidang, bersama 9 mahasiswa peserta sidang skripsi hari itu. Kami tengah mendengarkan seorang dosen membacakan hasil sidang kami satu persatu. Perasaanku tidak enak, namun aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mendengarkan.

“Sintamilia Rachmawati, tidak lulus.”

Beliau membaca dengan nada datar, tapi pengaruhnya sangat dalam. 
Seperti ada yang menyilet paru-paru dan membuat jantungku lepas. 
Aku tetap berdiri di sana hingga pembacaan hasil sidang selesai dan kami diperbolehkan meninggalkan ruangan.

Aku satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus.

Aku pulang dengan perasaan kosong. Tidak belum menangis. 
Masih setengah sadar menerima kenyataan.

Sesampai di kosan, seorang teman menyapa, siap memberikan ucapan selamat,
“Gimana? Lulus kaaaan?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
Aku tak mampu menjawab. Hanya bisa menggeleng lemah.
“Bohooong..” sahutnya tak percaya.

Aku tak tahan. Aku langsung berlari ke kamar, menjatuhkan diri di atas kasur, lalu menangis sesegukan di bawah bantal. 
Teman-teman kosan hanya menatapku kasihan.

Sedih, kesal, marah, tidak terima, sakit hati, malu, bercampur menjadi satu. 
Bagaimana bisa aku tidak lulus? Secara teori, kecil kemungkinannya mahasiswa tidak lulus sidang skripsi. Bukankah selama penyusunan skripsi ada dosen pembimbing? Aku menangis cukup lama.

Setelah sedikit lega, aku mulai berpikir lebih jernih.

Aku akan lulus. Pasti. Aku cukup memperbaiki skripsiku, mengoreksi yang salah, dan melengkapi yang kurang. Tidak ada alasan untuk para dosen ‘menahanku’ di kampus. Tidak ada untungnya bagi beliau-beliau memiliki ‘mahasiswa abadi’. Aku tahu mereka pasti ingin semua mahasiswanya lulus cepat, nilai tinggi, dan segera bekerja. Ketidaklulusanku bukan salah dosen. 
Kelulusanku tergantung padaku.

Keesokan harinya, aku mulai berkutat dengan skripsiku lagi. Melakukan revisi di sana sini. Aku perbanyak sholat malam dan berdoa lebih khusyuk. Aku akui bahwa aku banyak salah, dan memohon ampunan-Nya atas segala dosa. Aku mohon pada Allah untuk mengizinkan orangtua dan keluargaku bahagia dengan kelulusanku.

Dua minggu kemudian, aku mengikuti sidang skripsi lagi,
dan dinyatakan lulus.

-----

Aku tahu usaha manusia tidak selamanya sukses. Mungkin, lebih banyak gagalnya daripada berhasil. Tapi tidak ada gunanya meratapi kegagalan. Kita harus tegar, kuat, bangkit, dan mencoba lagi. Sampai berhasil.

Ada yang sudah beberapa kali mengajukan judul penelitian, masih saja ditolak dosen.
Ada yang sudah beberapa kali mencoba menjalin hubungan dengan lawan jenis, namun tidak berlanjut ke jenjang pernikahan.
Ada yang melakukan program hamil kesana-kemari, masih belum dikaruniai momongan.
Ada yang berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga, namun sia-sia dan kandas di tengah jalan.

See? 
Kita bisa temukan kisah kegagalan di mana-mana. Namun aku percaya, kegagalan adalah cara-Nya mendewasakan kita. Membuat kita lebih kuat, melatih untuk bangkit dan terus mencoba, serta membiasakan diri untuk selalu berbaik sangka pada-Nya. 

Insya Allah, segalanya indah pada waktunya.

Aku #BeraniLebih tegar menghadapi kegagalan.
Semoga kamu juga ya ;)

FB : Sintamilia Rachmawati
Twitter: @sintamilia




1 komentar:

  1. Iya Mba... kegagalan adalah salah satu cara untuk mendewasakan diri kita...kalau kita tepat dalam menghadapinya dan mba tepat dalam menyikapinya :)

    BalasHapus