Senin, 21 Maret 2011

Terbiasa (Dengan Perpisahan)


Aku terbiasa dengan perpisahan; hasil dari hidupku yang berpindah-pindah sejak kecil. Kehilangan terbesar adalah saat kenaikan kelas 2 SMP, ketika aku pindah dari Bandung ke Lhokseumawe, Aceh Utara. Saat itu aku merasa kehilangan hidupku: sahabat, organisasi, dan kota yang aku cintai. Beberapa hari pertama di sana aku habiskan di rumah, menolak main di luar, dan kalau malam, menyendiri di kamar sambil mendengarkan lagu Sherina “Lihatlah Lebih Dekat”.
Galau abis.
Sejak saat itu, aku bertekad tak ingin lagi menautkan hatiku dengan siapapun (atau apapun, kecuali Allah). Perpisahan adalah hal yang PASTI terjadi dan aku gak mau sedih lagi. Kalau berteman atau bersahabat, aku pastikan tidak boleh terlalu dalam sehingga jika aku berpisah dengan mereka, tidak akan depresi (?) lagi seperti dulu.
Dalam sebagian besar kasus, strategi itu berhasil. Memang resikonya aku jadi sering merasa kesepian. Tapi itu cukup ampuh ‘mematikan’ hatiku dan tidak merasa terlalu sedih ketika harus berpisah dengan teman-teman atau sahabat. ‘Sial’nya, selalu ada pengecualian.
Tentu saja sebenarnya aku tidak ingin ada pengecualian itu. Tapi selalu ada orang-orang yang entah bagaimana, membuat hatiku terpaut dengannya. Yang tanpa aku sadari, menempatkan dirinya cukup dalam di hatiku.
Misalnya Ummul. Ia adalah sahabat adikku dan dulu satu kosan dengan kami. Ketika ia harus pindah ke Medan, aku menangis hebat. Aku juga menolak ikut mengantarnya ke bandara karena tidak ingin melihat perpisahan, melihat ia pergi. Agak mengherankan karena aku merasa tidak terlalu akrab dengannya. Mungkin aku sedih karena selama ini aku terbiasa dengannya, bertemu dan bercanda nyaris setiap hari. Kepindahannya benar-benar sebuah kehilangan.
Sekarang, ada perpisahan yang lain lagi.
Dulu ia teman akrabku. Lalu ‘seperti biasa’, kami berpisah. Awalnya disebabkan jarak. Pada akhirnya, hati pun berpisah. Dalam arti, tak lagi menjadi sahabat. Perpisahan saat itu tidak terasa menyedihkan. Hanya sedikit mengecewakan tapi aku bisa menerimanya.
Ketika jarak itu ‘musnah’, aku senang. Memang, aku tidak berharap bisa kembali seperti dulu, bisa sedekat dulu. Tidak perlu. Entah mengapa, berada satu kota dengannya saja sudah cukup bagiku. Konyol.
Mungkin karena kalau satu kota, masih ada kemungkinan untuk bertemu. Mungkin tak sengaja berpapasan di jalan, mungkin ada acara kumpul-kumpul dengan teman-teman yang lain. Masih ada kemungkinan untuk melihatnya, menyapanya, dan mencuri inspirasi darinya. Tapi Sang Jarak hidup dan hadir kembali untuk kedua kali. Kami akan terpisah lagi.
...
Udah ah sesedihannya. Kita nyanyi aja yuuuwwkk *eh?
Dulu kita selalu berdua (ga juga siy)
Kemana-mana pun kita bersama
Kau dan aku tak mungkin terpisahkan (mungkin banget lah!)
Karena engkaulah ‘belahan jiwa’ku (pake tanda kutip ya)
Kini aku ada di tempat jauh
Kau di sana sendiri tanpaku
Aku merasa ada sesuatu yang hilang
Tanpamu aku di sini berantakan (lebaaaay.. heuheu)
( The Ox- Bulan Yang Sama)
Ya sudahlah. Memang seperti inilah hidup. Aku sudah terbiasa. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, kami akan bertemu lagi. Harus.
Seperti biasa, aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal,
melainkan “Sampai jumpa lagi, teman..”.
I just need to see you again someday.
Good luck! :’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar