Lagi ramai nih soal PPDB sistem zonasi yang kontroversial.
Salah satu ortu yang kecewa curhat kalau anaknya yang udah berusaha belajar keras
demi bisa masuk sekolah favorit, eh ujungnya gagal hanya karena lokasi rumah
kalah dekat dibanding calon murid lain. Bahkan ada juga berita tentang anak
yang membakar sekian piagamnya karena gagal masuk sekolah yang dia incar.
WHAT?
Saya lalu mengenang masa sekolah dulu.
Saya polos atau apa ya, tapi memang saya tidak mengenal
label sekolah favorit dan non favorit. Mungkin karena orangtua saya gak pernah ‘mengedukasi’
saya soal label itu.
Orangtua saya gak pernah ngomong,
“Sin, kamu belajar yang rajin ya. Biar masuk sekolah anu. Itu sekolah yang paling bagus.”
Orangtua saya gak pernah ngomong,
“Sin, kamu belajar yang rajin ya. Biar masuk sekolah anu. Itu sekolah yang paling bagus.”
Tidak pernah sama sekali.
Orangtua saya punya prinsip hidup seperti ini (dan
menanamkan mindset ini juga pada anak-anaknya) : Kalau keinginan kita tercapai,
Alhamdulillah. Kalau tidak tercapai, keputusan Allah tetap yang terbaik. Semua
pasti ada hikmahnya.
Prinsip itu berlaku pula untuk pemilihan sekolah. Kalau bisa
masuk sekolah yang terkenal bagus, Alhamdulillah. Kalau ternyata takdir menentukan
kita masuk sekolah tidak terkenal, berarti ini yang TERBAIK MENURUT ALLAH bagi
kita.
---
Pernah suatu ketika orangtua saya gagal memasukkan saya ke
sebuah sekolah negeri yang terkenal paling bagus. Mungkin karena ibu saya ga
tau cara ngasih uang pelicin #eh karena kalau lihat nilai rapor saya, jelas
saya layak masuk.
Akhirnya ibu saya mencari sekolah lain dengan kriteria
utamanya adalah akses jalan ke sekolah tsb ramai. Waktu itu memang di kota
tempat kami tinggal masih banyak jalanan sepi yang kanan kirinya hutan. Ibu
saya ngerasa serem aja kalau anak gadisnya tiap hari kudu lewat jalan seperti
itu. Takut kalau ketemu orang jahat katanya. Heuheu
Akhirnya nemu deh sebuah sekolah swasta, murah, bukan
sekolah favorit. Lokasi agak jauh dari rumah tapi daerahnya ramai, dekat area
komersial. Ke Bioskop 21 bisa jalan kaki. LOL
Ibu saya cerita ke saya kalau guru yang lihat nilai
rapor saya komennya gini, “Ibu yakin mau
anaknya di sini?” Sepertinya rapor saya terlalu bagus. Wkwkwkwk
Singkat cerita..
Saya akhirnya belajar di sekolah non favorit itu dan saya
gak mengeluh sama sekali. Guru-gurunya capable dan berdedikasi. Teman-temannya
baik. Perpustakaan selalu saya kunjungi tiap ada kesempatan.
Memang sih tidak ada lab ini itu. Mungkin karena tidak ada
wali murid yang cukup kaya untuk menyumbang fasilitas sekolah? Entahlah.
(Kelak saat saya sekolah di tempat favorit saya melihat ada
wali murid yang sponsorin AC untuk dipasang di kelas sang anak. WOW)
Jadi, apa hikmahnya saya sekolah di tempat non favorit ini?
-
Sekolah ini berbasis Islam. Sebenarnya sekolah
tidak mewajibkan siswinya berhijab. Tapi bagi saya yang sebelumnya sudah pakai
kerudung, rasanya senang bisa tetap pakai hijab. Banyak teman. Kalau di sekolah
negeri (belasan tahun yang lalu), siswi berjilbab masih minoritas.
-
Bebas SPP karena saya juara 1 terus HAHAHA. Dulu
sistemnya masih Caturwulan gitu kan. Cawu pertama saya ranking 1, dapat hadiah
bebas SPP untuk Cawu 2.
Cawu 2 ranking 1 lagi, ga usah bayar SPP
untuk Cawu 3. Gimana ortu saya gak happy? Xixixi
Lulus dari sekolah tersebut, dengan nilai rapor bagus saya
diterima di sekolah negeri paling favorit. Rasanya biasa saja. Yang ngasih
label favorit itu kan orang lain. Saya cukup memegang prinsip, dimanapun saya sekolah, I'll do the best.
Pada akhirnya saya menyadari, yang paling saya butuhkan dari
sebuah sekolah ternyata hanyalah teman-teman yang baik dan no bullying at all. Itu sih
hal utama yang membuat saya tetap senang ke sekolah. Dan bahagia di sekolah adalah
modal dasar yang utama agar tetap semangat belajar.
Siapa setuju? :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar