Jatinangor, Januari 2010.
Aku berdiri di depan ruang sidang, bersama 9
mahasiswa peserta sidang skripsi hari itu. Kami tengah mendengarkan seorang
dosen membacakan hasil sidang kami satu persatu. Perasaanku tidak enak, namun
aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mendengarkan.
“Sintamilia Rachmawati, tidak lulus.”
Beliau membaca dengan nada datar, tapi pengaruhnya sangat
dalam.
Seperti ada yang menyilet paru-paru dan membuat jantungku lepas.
Aku
tetap berdiri di sana hingga pembacaan hasil sidang selesai dan kami
diperbolehkan meninggalkan ruangan.
Aku satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus.
Aku pulang dengan perasaan kosong. Tidak belum menangis.
Masih setengah sadar menerima kenyataan.
Sesampai di kosan, seorang teman menyapa, siap memberikan
ucapan selamat,
“Gimana? Lulus kaaaan?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
Aku tak mampu menjawab. Hanya bisa menggeleng lemah.
“Bohooong..” sahutnya tak percaya.
Aku tak tahan. Aku langsung berlari ke kamar,
menjatuhkan diri di atas kasur, lalu menangis sesegukan di bawah bantal.
Teman-teman
kosan hanya menatapku kasihan.
Sedih, kesal, marah, tidak terima, sakit hati, malu,
bercampur menjadi satu.
Bagaimana bisa aku tidak lulus? Secara teori, kecil
kemungkinannya mahasiswa tidak lulus sidang skripsi. Bukankah selama penyusunan
skripsi ada dosen pembimbing? Aku menangis cukup lama.
Setelah sedikit lega, aku mulai berpikir lebih jernih.
Aku akan lulus. Pasti. Aku cukup memperbaiki skripsiku,
mengoreksi yang salah, dan melengkapi yang kurang. Tidak ada alasan untuk para
dosen ‘menahanku’ di kampus. Tidak ada untungnya bagi beliau-beliau memiliki ‘mahasiswa
abadi’. Aku tahu mereka pasti ingin semua mahasiswanya lulus cepat, nilai
tinggi, dan segera bekerja. Ketidaklulusanku bukan salah dosen.
Kelulusanku tergantung padaku.
Keesokan harinya, aku mulai berkutat dengan skripsiku lagi.
Melakukan revisi di sana sini. Aku perbanyak sholat malam dan berdoa lebih
khusyuk. Aku akui bahwa aku banyak salah, dan memohon ampunan-Nya atas segala dosa.
Aku mohon pada Allah untuk mengizinkan orangtua dan keluargaku bahagia dengan
kelulusanku.
Dua minggu kemudian, aku mengikuti sidang skripsi lagi,
dan dinyatakan lulus.
-----
Aku tahu usaha manusia tidak selamanya sukses. Mungkin,
lebih banyak gagalnya daripada berhasil. Tapi tidak ada gunanya meratapi
kegagalan. Kita harus tegar, kuat, bangkit, dan mencoba lagi. Sampai berhasil.
Ada yang sudah beberapa kali mengajukan judul penelitian,
masih saja ditolak dosen.
Ada yang sudah beberapa kali mencoba menjalin hubungan
dengan lawan jenis, namun tidak berlanjut ke jenjang pernikahan.
Ada yang melakukan program hamil kesana-kemari, masih belum
dikaruniai momongan.
Ada yang berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga,
namun sia-sia dan kandas di tengah jalan.
See?
Kita bisa temukan kisah kegagalan di mana-mana. Namun
aku percaya, kegagalan adalah cara-Nya mendewasakan kita. Membuat kita lebih kuat,
melatih untuk bangkit dan terus mencoba, serta membiasakan diri untuk selalu
berbaik sangka pada-Nya.
Insya Allah, segalanya indah pada waktunya.
Aku #BeraniLebih tegar menghadapi kegagalan.
Semoga kamu juga ya ;)
FB : Sintamilia Rachmawati
Twitter: @sintamilia