Jumat, 15 Agustus 2003. 22.47 WIB
Bumi Perkemahan Raja Ali Haji, Batam.
Suara gemuruh terdengar satu kali di kejauhan. Seorang teman yang tergabung dalam kepanitiaan memperingatkan kami akan adanya hujan malam ini. Melihat tenda kami yang tidak waterproof, dia menyarankan untuk bersiap-siap karena jika hujan benar-benar turun, maka kami harus meninggalkan tenda dan berlindung di Gedung Sekretariat.
Aku dan teman-teman sekelompok menurut. Semua barang bawaan dimasukkan ke dalam tas, kecuali peralatan masak di dapur. Gerimis mulai turun ketika kami menuruni tanjakan yang menghubungkan antara lokasi perkemahan dengan Gedung Sekretariat. Kami tiba di sana tepat ketika hujan mulai turun deras. Sebuah badai. Kelak aku menyadari bahwa aku sangat beruntung menjadi salah satu orang yang pertama kali menyelamatkan diri.
Setelah menyimpan barang bawaan di sebuah ruangan kecil, kami berkumpul di teras samping gedung. Tidak ada yang bisa tidur di tengah suara guntur, petir, dan kilat yang menyambar-nyambar. Kami hanya memandang ke arah lokasi perkemahan, yang bagai diguyur dari langit.
Beberapa menit kemudian, pemandangan berubah mengerikan. Para peserta perkemahan berlarian dari tenda-tenda mereka menuju Gedung Sekretariat. Turunan yang licin di sebelah kiri gedung membuat sebagian diantara mereka jatuh terpeleset atau terguling. Tidak ada pencahayaan, sampai kemudian seorang pemilik mobil berinisiatif menyalakan lampu depannya untuk menyorot turunan itu, agar anak-anak yang menuju gedung bisa melihat jalan turunan yang berbahaya itu.
Dari arah depan Gedung, yang dijadikan lokasi perkemahan untuk para pramuka siaga (SD), juga terlihat puluhan anak-anak berlarian menyelamatkan diri. Aku melihat salah seorang anak, mungkin sembilan tahun, tiba di gedung dengan basah kuyup, tanpa membawa apapun. Seorang wanita sempat bertanya di mana baju-bajunya. Dan anak itu menjawab dengan bibir bergetar kedinginan, “Di tenda.. basah semua…”
Aku ingin menangis.
Sementara itu, dengan sebuah mobil, panitia bolak-balik ke lokasi perkemahan. Setiap kali mereka tiba di Gedung, mereka membawa satu-dua anak yang sakit, pingsan, atau terluka. Setelah mengantarnya ke lantai dua, mereka akan kembali lagi ke lokasi perkemahan, menolong anak-anak lain yang terjebak badai dan sulit menyelamatkan diri. Begitu seterusnya.
Satu jam berikutnya, gedung telah penuh oleh ratusan anak peserta perkemahan. Bahkan aku dan teman-teman sekelompok tidak mendapat tempat untuk duduk. Kami hanya bisa berdiri, memandangi anak-anak lain yang basah kuyup, menggigil, masuk angin, dan duduk berdempetan untuk mengusir rasa dingin.
Sekitar pukul dua dini hari, hujan mereda meski belum benar-benar berhenti. Kami sempat berjalan ke tenda tentara (yang sangat besar dan kokoh) untuk mencari tempat berbaring. Ternyata tenda sudah sangat penuh. Kami pun kembali ke Gedung.
Di dalam gedung, keadaan sangat memprihatinkan. Seisi gedung nyaris penuh dengan para ‘pengungsi’. Luas ruangan yang tidak sebanding dengan jumlah peserta perkemahan, membuat mereka harus bisa tidur dengan posisi duduk, bersandar pada teman disebelahnya. Tidak ada tempat untuk sekadar meluruskan kaki.
Aku dan teman-teman bergabung. Karena ruangan nyaris penuh, kami mendapat tempat sekitar tiga meter jaraknya dari pintu masuk. Kami duduk memeluk lutut, berhimpitan, menahan hawa dingin yang masuk melalui pintu yang terbuka. Itu adalah angin paling dingin yang pernah kurasakan. Sungguh menusuk tulang. Aku memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi tentu tidak bisa. Tidak mungkin bisa.
Aku ingin pulang…
duh jadi ingat masa sekolah dulu....semangat trus kawan...
BalasHapusdan pengungsian bertambah banyak akhir2 ini. anak2 yang terpaksa hidup dan tinggal di bukan rumah mereka sendiri makin banyak. sungguh Indonesia sedang mendapat ujian yang berat...
BalasHapusSalam kenal mbak Sinta ... thank yaaa dah kasih comment di blog saya, Ngomongin tentang bahasa Arab ada artikel baru lho .... Cara Posting dan Komentar Dengan Huruf Arab di Wordpress Self Hosting
BalasHapus