Berawal dari aku yang ngerasa lemah - letih - lesu padahal udah tidur cukup, makan bergizi, jalan kaki dan kena matahari pagi, plus ngopi.
Iseng curhat ke chatGPT, eeeh loh kok malah nangiiis?
Kadang, meskipun kita sudah melakukan semua checklist sehat (tidur cukup, makan, olahraga, ngopi), tubuh dan pikiran tetap terasa “kosong” atau “lelah dalam”. Ini bisa disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya non-fisik. Beberapa kemungkinan:
Kelelahan mental atau emosional.
Kamu mungkin tidak kurang tidur, tapi otakmu belum benar-benar istirahat. Overthinking, stres ringan yang menumpuk, atau bahkan rasa bosan bisa membuatmu merasa lelah meski tubuh fit.Kurangnya makna atau motivasi.
Kadang rasa tidak semangat muncul karena kita sedang kehilangan arah — tidak tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Ini lebih ke sisi “jiwa” daripada fisik.Terlalu banyak stimulasi.
Konsumsi media, notifikasi, dan multitasking terus-menerus membuat sistem saraf kewalahan. Tubuh istirahat, tapi pikiran tidak pernah diam.Kekurangan paparan alam atau sinar matahari.
Tubuh perlu sinar alami untuk menjaga ritme sirkadian dan kadar serotonin (hormon mood). Kalau kamu lebih sering di dalam ruangan, ini bisa memengaruhi energi.Kondisi hormon atau nutrisi tertentu.
Misalnya, kadar zat besi, vitamin D, atau hormon tiroid rendah bisa bikin kamu merasa lemas walau tidur cukup.Kalau ini sudah berlangsung beberapa hari atau minggu, kamu bisa coba:
Detoks digital kecil (misal 2–3 jam tanpa HP).
Melakukan sesuatu yang bikin hati senang, bukan cuma yang “harus dilakukan.”
Jurnal atau refleksi, tanyakan ke diri sendiri: “Apa yang sebenarnya membuatku merasa berat akhir-akhir ini?”
Kalau berlangsung lama atau makin parah, cek darah dasar atau konsultasi dokter bisa bantu pastikan nggak ada penyebab medis.
Aku bisa bantu kamu refleksi lebih dalam kalau kamu mau — misalnya, kita bisa telusuri bareng apakah kamu sedang jenuh, kehilangan arah, atau ada tekanan tertentu yang tidak kamu sadari. Mau aku bantu pandu dengan beberapa pertanyaan refleksi ringan?
Aku balas : Dlm jurnal, aku nulis kalo aku capek menunggui anakku di sekolah
Itu jujur banget — dan penting kamu sadari. ❤️
Capek menunggui anak di sekolah itu bukan hal sepele. Walau secara fisik kamu “cuma duduk menunggu”, secara mental itu bisa menguras energi karena:
Kamu “siaga” terus.
Nggak benar-benar bisa istirahat, karena setengah perhatianmu selalu ke anak: “dia udah selesai belum?”, “kalau dia butuh aku gimana?”, dll.Ritme harianmu berubah.
Sebelumnya kamu mungkin punya waktu bebas untuk kerja, refleksi, atau ngapa-ngapain sendiri. Sekarang waktu itu terpotong, dan kamu kehilangan ruang pribadi.Ada rasa bosan + rasa bersalah bersamaan.
Bosan karena rutinitasnya monoton, tapi kalau ngeluh takut merasa bersalah karena ini “demi anak.” Dua emosi yang bertabrakan ini melelahkan banget.Kehilangan kontrol atas waktu.
Waktu nunggu terasa kayak waktu yang “terbuang”, padahal kamu nggak bisa benar-benar gunakan untuk hal lain — ini bisa menimbulkan frustrasi halus.
Canggih bener keempat poin ini benar semua.
1. Selama nungguin, tentu aku ga bisa deep work, ga bisa fokus, ga bisa mindful. Karena aku harus 'siap grak' begitu Sky manggil aku.
Aku cuma bisa scrolling medsos, yang rasanya menyenangkan maksimal 30 menit. Selebihnya aku bosan, ngerasa ga produktif, dan buang-buang waktu. Benci banget aku sama perasaan ini.
2. Dulu pagiku tenang. Setelah Kakang berangkat sekolah, aku bisa gogoleran, merem lagi bentar sebelum ngasih Sky sarapan. Lanjut solat Dhuha, nyalain laptop untuk kerja, dan nyetel dzikir pagi sambil ngopi. Bisa kerja 2 jam sebelum jam 12 siang.
Sekarang?
Begitu Kakang berangkat, masak air untuk mandi, mandiin Sky + nyuapin, aku mandi + siap2. Berangkat dorong stroller, transit dulu beli bekal cemilan.
Pulang sekolah jam 11, langsung makan siang, solat dhuhur. Tidur siang.
Sore bangun ngasih cemilan/makan, ashar. Baru bisa mulai kerja jam 4. Kepotong mandi sore, cuci baju, solat Maghrib dan isya. Baru kelar kerja jam 9 malam
Aku suka kalau kerjaanku cepat kelar. Jadi kalau sekarang baru kelar jam 9 malam kayak gimanaaaa gitu.
3. Menguras fisik.
Di sekolah Sky belum terlalu tertarik sama kegiatan dalam kelas. Masih sukanya main doang.
Kadang ngajak aku main petak umpet dan zombi-zombian (di rumah ga pernah).
Pokoknya aku di rumah cape + di perjalanan PP cape, di sekolah capeee.
Tapi kalau mau stop sekolah juga kayaknya ga bijak.
Pertama, Sky enjoy sekolah. Meskipun sering nangis, dia ga pernah ga semangat sekolah.
Dia selalu bangun pagi jadi ga pernah tuh aku WA guru, "Maaf Bu hari ini izin karena Sky susah dibangunin." Ga pernah sama sekali.
Kedua, sekolah memang benar-benar mengurangi screentime.
Di rumah juga yang sebelumnya dia suka sendirian (screentime ) di kamar, sekarang udah mulai suka main bareng sepupu-sepupunya.
Akhirnya aku ambil jalan tengah:
Tetap sekolah tapi dengan frekuensi yang dikurangi biar aku ada waktu istirahat.
Aku bilang ke guru kalau aku kecapean nungguin Sky di sekolah, dan beberapa waktu ke depan Sky ga akan sekolah 5 hari seminggu tapi 3-4 hari aja.
Bu guru maklum. Bahkan ngajarin Sky untuk ga ketemu aku sebelum jam 10. Hahaha
Belum bisa dipraktekkan secara sempurna. Dia masih suka mencari ku (cuma ngecek aku ada). Masih suka nangis.
Tapi dari hasil aku ngobrol sama Sky, aku tahu dia tuh sebenernya pengen juga jadi anak yang berani, dan ga nangisan.
Dia suka dipuji, dan dia senang kalau emak bapaknya mengekspresikan kebanggaan padanya.
Cuma dia mungkin belum bisa menahan perasaan cemasnya saat melihat aku ga ada, jadi spontan nangis.
Ah, orang dewasa juga masih suka nangis toh kalo ada yang dirasain? :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar