Selasa, 15 September 2009

Sheila Marcia Joseph


sumber gambar: gadis.co.uk

Tumben amat nih aku ngebahas artis. Padahal aku bukan penonton setia infotainment. Tapi cewek yang satu ini beda.
Dia pernah jadi orang spesial bagi aku (APPAAAAA….??? Hehe).
Iya, jadi sebenarnya aku itu.. jatuh cinta pada pandangan pertama padanya
(APPAAAAA …?? Sinta, ternyata kamu….).

Hey, bentar. Begini ceritanya.

Waktu SMA, aku pertama kali melihat wajahnya di sampul majalah Gadis, dan aku langsung suka. Menurutku, mukanya cute dan eksotis. Saat itu warna kulitnya agak kecoklatan terkena matahari Bali *tsah*. Dan serius, aku ga bosan melihat wajah cantiknya.

Saking sukanya, dia jadi inspirasiku buat menulis novel! Waktu itu aku baru mulai menulis, dan pas melihat muka Sheila, aku langsung berandai-andai, jika novel ini difilmkan, aku pengen pemeran utamanya Sheila Marcia! *Imajinaaaaassiiii…..

Dan selama aku menulis, aku membayangkan adegan-adegan dalam novelku diperankan Sheila. Sheila yang cantik, imut, dan punya senyum manis. Ow..ow..ow.. I love you.. Sheila!

Sampai.. Sheila-ku yang manis, berubah. Sheila di kepalaku dengan Sheila yang di TV, berbeda. Mulai dari gaya pacaran dengan Roger yang kelewat mesra, penampilan yang terlalu seksi, semuanya bikin aku mengurut dada. Tapi aku masih menyukainya. Gak papa, wajarlah. Namanya juga artis.

Eh.. tiba-tiba dia tertangkap pakai narkoba dan masuk penjara. Lemaslah aku.

Sheila.. Sheila..

Tapi melihat perhatian dan kasih sayang ibunya, Sheila tampak tegar dan semakin dekat dengan Tuhan. Hm.. bagus. Bertobatlah kamu, Nak..

Dia sempat bebas, sempat jadi host Inbox di SCTV, dan sekarang dia masuk penjara lagi…
dan hamil.
HAMIL!
What the hell were you doing Sheilaaaaa…??
Sungguh, semua yang ia lakukan memporak-porandakan imaji indahku tentangnya.

Sepertinya, semua yang ia lakukan sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang aku pegang. Melihat mama Sheila dan mamaku, aku menemukan perbedaan prinsip diantara keduanya. Kalau mama Sheila membebaskan anaknya untuk melakukan apapun dengan membiarkan Sheila menanggung resikonya sendiri, tidak demikian dengan mamaku.

Mamaku dulu pernah berpesan, bahwa aku boleh memilih: dibebaskan melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab, atau, jika aku belum bisa bertanggung jawab, maka lebih baik aku 'dipingit', alias dikekang saja sekalian. Demi kebaikanku.

Tentu saja aku memilih yang pertama.
Aku ingin bebas.
Dan aku tahu batasan yang dimaksud orang tuaku.
Hamil di luar nikah? Wow, bisa-bisa aku langsung dipecat jadi anak! Hehe..

But still, aku tidak ingin menghakiminya. Because I can’t put myself in her shoes. Aku tidak membenci Sheila. Tidak pernah. Tapi aku berharap, semoga tidak ada yang bernasib semalang Sheila. Semoga masyarakat Indonesia bisa memetik hikmah dari kisah hidupnya..

Selasa, 08 September 2009

Suatu Ketika di Pengungsian

Jumat, 15 Agustus 2003. 22.47 WIB
Bumi Perkemahan Raja Ali Haji, Batam.

Suara gemuruh terdengar satu kali di kejauhan. Seorang teman yang tergabung dalam kepanitiaan memperingatkan kami akan adanya hujan malam ini. Melihat tenda kami yang tidak waterproof, dia menyarankan untuk bersiap-siap karena jika hujan benar-benar turun, maka kami harus meninggalkan tenda dan berlindung di Gedung Sekretariat.

Aku dan teman-teman sekelompok menurut. Semua barang bawaan dimasukkan ke dalam tas, kecuali peralatan masak di dapur. Gerimis mulai turun ketika kami menuruni tanjakan yang menghubungkan antara lokasi perkemahan dengan Gedung Sekretariat. Kami tiba di sana tepat ketika hujan mulai turun deras. Sebuah badai. Kelak aku menyadari bahwa aku sangat beruntung menjadi salah satu orang yang pertama kali menyelamatkan diri.

Setelah menyimpan barang bawaan di sebuah ruangan kecil, kami berkumpul di teras samping gedung. Tidak ada yang bisa tidur di tengah suara guntur, petir, dan kilat yang menyambar-nyambar. Kami hanya memandang ke arah lokasi perkemahan, yang bagai diguyur dari langit.

Beberapa menit kemudian, pemandangan berubah mengerikan. Para peserta perkemahan berlarian dari tenda-tenda mereka menuju Gedung Sekretariat. Turunan yang licin di sebelah kiri gedung membuat sebagian diantara mereka jatuh terpeleset atau terguling. Tidak ada pencahayaan, sampai kemudian seorang pemilik mobil berinisiatif menyalakan lampu depannya untuk menyorot turunan itu, agar anak-anak yang menuju gedung bisa melihat jalan turunan yang berbahaya itu.

Dari arah depan Gedung, yang dijadikan lokasi perkemahan untuk para pramuka siaga (SD), juga terlihat puluhan anak-anak berlarian menyelamatkan diri. Aku melihat salah seorang anak, mungkin sembilan tahun, tiba di gedung dengan basah kuyup, tanpa membawa apapun. Seorang wanita sempat bertanya di mana baju-bajunya. Dan anak itu menjawab dengan bibir bergetar kedinginan, “Di tenda.. basah semua…”
Aku ingin menangis.

Sementara itu, dengan sebuah mobil, panitia bolak-balik ke lokasi perkemahan. Setiap kali mereka tiba di Gedung, mereka membawa satu-dua anak yang sakit, pingsan, atau terluka. Setelah mengantarnya ke lantai dua, mereka akan kembali lagi ke lokasi perkemahan, menolong anak-anak lain yang terjebak badai dan sulit menyelamatkan diri. Begitu seterusnya.

Satu jam berikutnya, gedung telah penuh oleh ratusan anak peserta perkemahan. Bahkan aku dan teman-teman sekelompok tidak mendapat tempat untuk duduk. Kami hanya bisa berdiri, memandangi anak-anak lain yang basah kuyup, menggigil, masuk angin, dan duduk berdempetan untuk mengusir rasa dingin.

Sekitar pukul dua dini hari, hujan mereda meski belum benar-benar berhenti. Kami sempat berjalan ke tenda tentara (yang sangat besar dan kokoh) untuk mencari tempat berbaring. Ternyata tenda sudah sangat penuh. Kami pun kembali ke Gedung.

Di dalam gedung, keadaan sangat memprihatinkan. Seisi gedung nyaris penuh dengan para ‘pengungsi’. Luas ruangan yang tidak sebanding dengan jumlah peserta perkemahan, membuat mereka harus bisa tidur dengan posisi duduk, bersandar pada teman disebelahnya. Tidak ada tempat untuk sekadar meluruskan kaki.

Aku dan teman-teman bergabung. Karena ruangan nyaris penuh, kami mendapat tempat sekitar tiga meter jaraknya dari pintu masuk. Kami duduk memeluk lutut, berhimpitan, menahan hawa dingin yang masuk melalui pintu yang terbuka. Itu adalah angin paling dingin yang pernah kurasakan. Sungguh menusuk tulang. Aku memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi tentu tidak bisa. Tidak mungkin bisa.

Aku ingin pulang…